Coaching dan Resiliensi: Paket Two in One Daya Bangkit

Teman tertawa itu banyak. Teman menangis, susah dicari. Ini tidak hanya sekadar peribahasa, tetapi sebuah realita pahit yang mungkin pernah, atau bahkan sedang, kita hadapi. Berbagai perasaan dan pikiran berkecamuk dalam benak. “Mengapa semua jadi sekacau ini? Kenapa saat begini, semua seakan menjauh? Tuhan, mengapa lagi-lagi aku yang diuji?”

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti sebuah webinar internasional tentang resiliensi. Istilah ini semakin populer terdengar, dan bukan tanpa alasan. Di zaman yang serba cepat berubah, tak menentu, dan sering kali terasa sulit, menjadikan resiliensi sebagai sahabat karib adalah sebuah pilihan yang bijak.

Resiliensi itu Lebih dari Sekadar Bertahan

Dalam bahasa sederhana, resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan hidup. Istilah lainnya adalah daya lenting,yaitu kemampuan untuk pulih kembali ke keadaan seimbang setelah mengalami berbagai guncangan.  Namun, maknanya jauh lebih dalam dari itu. Para ahli sepakat, resiliensi juga tentang menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Lola Chetti, seorang Master Certified Coach (MCC), dalam paparannya, Masterclass on Resilience, mendefinisikannya sebagai kemampuan untuk tetap fleksibel secara kognitif, perilaku, dan emosional saat menghadapi tantangan, serta kemampuan untuk “bangkit kembali” dari situasi terburuk.

Ini mengingatkan saya pada nasihat orang tua  dahulu saat saya akan memasuki babak baru kehidupan. Mereka berpesan agar saya kelak perlu belajar “susah” dan bersabar. Sebab, pasti ada fase dalam hidup yang tak akan seindah harapan. “Belajar susah dan bersabar” adalah cara sederhana mereka menggambarkan dan menanamkan makna resiliensi.

Mengapa Manusia Membutuhkan Resiliensi?

Carol S. Dweck, Ph.D., dalam bukunya Self-Theories, menyatakan bahwa penanda individu sukses adalah mereka yang mencintai belajar, mencari tantangan, menghargai usaha, dan tabah saat menghadapi hambatan. Ketabahan inilah inti dari resiliensi. Ini adalah kabar baik, karena ternyata  kesuksesan tidak selamanya diukur dari materi dan kemenangan semata.

Hambatan dan kegagalan bukanlah titik akhir, tetapi bagian tak terpisahkan dari kamus kehidupan setiap orang. Bahkan, sebelum meraih kesuksesan besar, seseorang sering kali harus siap menerima paket kegagalan yang setimpal.

Pada fase keterpurukan inilah mental dan emosional kita diuji habis-habisan, yang tak jarang berujung pada kekecewaan, stres, hingga depresi. Di sinilah resiliensi hadir sebagai garda terdepan, menjaga kesehatan mental dan emosional kita dari kerusakan yang lebih parah.

Pelajaran terpenting dari resiliensi adalah mentalitas untuk bangkit. Mereka yang resilien memandang kegagalan bukan sebagai aib, namun sebagai kesempatan berharga untuk belajar dan bertumbuh. Seperti yang diungkapkan oleh Connor dan Davidson, dua peneliti terkemuka di bidang ini, resiliensi bukan hanya tentang daya tahan, tetapi juga tentang kemampuan untuk berkembang di tengah kesulitan, dan berpotensi menjadi lebih tangguh dari sebelumnya. Layaknya pahlawan dalam sebuah kisah epik, yang justru ditempa oleh berbagai rintangan hingga akhirnya mencapai kejayaan.

Benang Merah Coaching dan Resiliensi

Isu resiliensi juga menjadi topik hangat dalam dunia coaching. Klien, baik secara gamblang maupun tersirat, sering kali menuturkan kisah mereka yang sedang mengalami burnout atau kebuntuan. Jika resiliensi adalah otot, maka sesi coaching adalah ruang latihannya.

Coaching adalah seni percakapan yang bermakna dan positif. Dalam proses ini, seorang coach akan membantu klien mengeksplorasi kekuatan, keyakinan (belief), dan nilai-nilai diri yang sudah ada. Tujuannya adalah agar klien menemukan kembali kemampuannya untuk tetap eksis dan berselancar di tengah topan kehidupan.

Percakapan eksploratif ini akan membawa klien pada kesadaran diri (awareness) yang lebih dalam. Mereka menjadi mampu melihat penghalang sesungguhnya, merasakan kelegaan, dan menemukan kembali optimisme. Dengan kompetensinya, seorang coach akan memfasilitasi pertumbuhan klien, mendorong mereka mengambil langkah aksi yang nyata dan penuh tanggung jawab untuk menjadi versi diri yang lebih tangguh.

Coaching yang esensinya adalah tentang growth mindset, akan menjadi tools kolaboratif resiliensi. Ini tentang bagaimana pola pikir bisa distimulasi dan dikembangkan secara positif yang berdampak pada pemikiran, perasaan dan tindakan yang lebih produktif, kreatif dan adaptif meski situasi tengah menghimpit.

Kekuatan Dukungan Sosial: “I Have”

Psikolog perkembangan, Edith Grotberg, memperkenalkan model resiliensi dengan tiga pilar, salah satunya adalah “I have”. Pilar ini merujuk pada dukungan eksternal yang kita miliki, seperti keluarga, teman yang suportif, dan lingkungan yang aman.

Terkadang, saat seseorang terpuruk, dukungan yang mereka butuhkan dari kita sangatlah sederhana: telinga untuk mendengarkan. Bukan mulut yang menceramahi, menasihati, atau malah menyalahkan. Namun, disadari atau tidak, kita sering kali justru menjatuhkan mental mereka dengan kata-kata yang tidak tepat. Ironisnya, seperti yang tertulis di awal, saat seseorang paling membutuhkan sandaran, sering kali lingkungan acap terasa sunyi dan semua orang menghilang.

Sebuah Refleksi: Menjadi Kapten di Kapal Sendiri

Roda kehidupan terus berputar. Hari ini kita mungkin di atas, esok lusa bisa jadi ada di bawah. Saat di puncak, kita dikelilingi banyak orang dan pemandangan indah. Saat di lembah, mungkin hanya ada angin dan sunyi yang menemani.

Tetapi, pelaut tangguh dilahirkan dari hempasan ombak dan badai, bukan dari lautan yang damai. Manusia kuat ditempa dari berbagai ujian, bukan dari “kursi goyang” zona nyaman. Pada akhirnya, resiliensi mengajarkan kita sebuah realitas penting, tentang memanfaatkan ego: orang yang paling bisa kita andalkan adalah diri kita sendiri. Saat kesulitan menghampiri dan semua orang seakan lenyap, resiliensi mengajari kita untuk memanfaatkan kekuatan dari dalam. Karena sesungguhnya, hanya kita yang benar-benar peduli pada diri sendiri untuk berani bangkit setelah terjatuh. Di tengah gempuran badai prahara, kitalah kapten yang harus memegang kemudi, memanfaatkan ego bukan untuk kesombongan, tetapi untuk keberanian bangkit sekali lagi.